Jumat, 26 November 2010

Orang Tua dan Pendidikan Moral Bagi Anak


A. Orang Tua dan Pendidikan Moral Anak
1. Kewajiban Orang Tua
Dalam membina kepribadian anak orang tua hendaknya memahami dorongan-dorongan serta kebutuhan anak baik secara psikis maupun fisik dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga target dalam mengasuh anak akan tercapai sebagaimana yang diinginkan.
Menurut Zakiah Daradjat, orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh itu.
Senada dengan pendapat di atas, Abu Ahmadi mengatakan bahwa orang tua mempunyai peranan yang pertama dan utama bagi anak-anaknya untuk membawa anak kepada kedewasaan, maka orang tua harus memberi contoh yang baik karena anak suka mengimitasi pada orang tuanya.
Adapun eksistensi orang tua sebagai pendidik yang utama dan pertama dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan anak menurut Abdullah Nasih Ulwan adalah:
“Orang pertama dan terakhir yang bertanggung jawab mendidik anak dengan keimanan dan akhlak, membentuknya dengan kematangan intelektual dan keseimbangan fisik dan psikisnya serta mengarahkannya kepada kepemilikan ilmu yang bermanfaat dan  bermacam-macam kebudayaannya adalah orang tua”
Adapun kewajiban utama orang tua sebagai pendidik dalam keluarga menurut Abdurrahman al-Nahlawi ada dua, yaitu:
1)    Membiasakan anaknya supaya senantiasa mengingat keagungan dan kebesaran Allah dengan mengajak mereka untuk memikirkan atau mentafakkuri segala ciptaan Allah swt.
2)    Menampakkan sikap keteguhan di hadapan anak dalam menghadapi berbagai penyimpangan orang-orang sesat, seperti kezaliman, hidup tak bermoral dan sebagainya.
  1. Membina Emosi Anak
Pada awal pertumbuhannya, seorang anak belum memiliki reaksi emosional terhadap obyek yang bersifat abstrak seperti mencintai keindahan, kejujuran, kebenaran, etika dan estetika sebagaimana yang dimiliki oleh orang dewasa.
Dalam membina emosi anak hubungan orang tua dengan anak sangat penting karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab berkenalannya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pikirannya di kemudian hari, terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya sejak kecil.
Menurut A. Choiran Marzuki ada tiga kriteria orang tua yang gagal dalam membina kecerdasan emosional anak, yaitu:
1)    Orang tua yang bersikap masa bodoh, mengabaikan, meremehkan dan tak mau menghiraukan emosi anak.
2)    Orang tua yang bersikap negatif terhadap emosi anak, dan terkadang memberikan hukuman kepada anak saat sang anak mengungkapkan emosinya.
3)    Orang tua yang bisa menerima emosi anak dan berempati dengannya, namun tidak mau memberikan bimbingan dan mengadakan batasan-batasan dengan tingkah laku riil.
  1. Memberi nama yang baik seperti yang diperintahkan Nabi Muhammad Saw. dalam sunnahnya
  2. Mengajarkan Al-Qur’an dan pengetahuan yang dibutuhkan baik pengetahuan agama maupun umum, kemudian mengajarkan kreatifitas yang berguna.
  3. Mengajarkan shalat, mendidiknya agar terbiasa melakukannya, membawanya ke masjid untuk shalat berjamaah, dan memukulnya dengan wajar apabila anak enggan melakukan shalat.
    1. 2. Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata latin ‘mos’ (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan, nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas, merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Menurut Zakiah Daradjat, dalam bukunya yang berjudul “Peranan Agama dalam Kesehatan Mental mengatakan bahwa moral adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan atau keinginan pribadi.
Dalam Islam moral merupakan terjemahan dari kata akhlak. Namun demikian moral dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan atau kelakuan yang bersumber dari nilai-nilai masyarakat, sedangkan akhlak merupakan suatu kelakuan atau sikap yang dimiliki oleh seseorang yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Di kalangan para ulama terdapat berbagai pengertian tentang apa yang dimaksud moral/akhlak. Murtadha Muthahhari mengemukakan bahwa moral/akhlak mengacu kepada perbuatan yang bersifat manusiawi, yaitu perbuatan yang lebih bernilai dari sekedar perbuatan alami seperti makan, tidur, dan sebagainya.
Pengertian moral secara lebih lengkap dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, bahwa moral/akhlak adalah suatu perbuatan yang lahir dengan mudah dari jiwa yang tulus, tanpa memerlukan pertimbangan dan pertimbangan lagi.
Berdasarkan definisi di atas Abuddin Nata, merumuskan bahwa perbuatan moral/akhlak harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Perbuatan tersebut telah mendarah daging atau mempribadi, sehingga menjadi identitas orang melakukannya.
  2. Perbuatan tersebut dilakukan dengan mudah, gampang serta tanpa memerlukan pikiran lagi. Sebagai akibat dari telah mempribadinya perbuatan tersebut.
  3. Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan dan pilihan sendiri bukan karena paksaan dari luar. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sebenarnya bukan berpura-pura, sandiwara, atau tipuan dan perbuatan tersebut atas dasar niat karena Allah swt
Dalam hubungannya antara ajaran agama khususnya Islam dan moral ini, Zakiah Daradjat berpendapat bahwa jika kita ambil ajaran agama, maka moral adalah sangat penting bahkan yang terpenting di mana kejujuran, keadilan, kebenaran dan pengabdian adalah di antara sifat-sifat yang terpenting dalam agama.
Hal ini sejalan pula dengan pendapat Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa:
Inti ajaran agama adalah moral yang bertumpuh pada keyakinan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (Habl minallah) dan keadilan serta berbuat baik dengan sesama manusia (Habl minannaas).
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa moral dalam ajaran Islam merupakan terjemahan dari kata akhlak yang berarti sifat terpuji yang merupakan pantulan berupa perilaku, ucapan dan sikap yang ditimbulkan oleh seseorang atau dengan kata lain moral adalah amal saleh dan dalam mendidik moral anak orang tua harus memberikan tauladan yang baik sebab moral anak terbentuk dengan meniru bukan dengan nasehat atau petunjuk.
B. Anak dan Perkembangannya
Dalam Kamus Bahasa Indonesia anak adalah turunan yang kedua. Anak adalah anggota keluarga dimana orang tua adalah pemimpin keluarga, sebagai penanggung jawab atas keselamatan warganya di dunia dan khususnya di akhirat.
Selanjutnya perkembangan menurut Syamsu Yusuf adalah perubahan yang berkesinambungan dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati. Dan perkembangan yang dimaksud penulis di sini adalah perkembangan dalam aspek moral, yaitu perubahan-perubahan yang dialami seseorang menuju tingkat kedewasaan yang berlangsung secara berkesinambungan yang menyangkut pertambahan pengetahuan seorang anak mengenai ukuran baik dan buruk.
Menurut Abu Ahmadi dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Perkembangan” mengatakan bahwa perkembangan moral seseorang berkaitan erat dengan perkembangan sosial anak di samping pengaruh luar dari perkembangan pikiran, perasaan serta kemauan atas hasil tanggapan diri anak.
Moralitas tidak dapat terjadi hanya melalui pengertian-pengertian, tanpa latihan-latihan, pembiasaan dan contoh-contoh yang diperoleh sejak kecil. Kebiasaan itu tertanam dengan berangsur-berangsur sesuai dengan pertumbuhan kecerdasannya, sesudah itu barulah si anak diberi pengertian-pengertian moral. Selanjutnya Zakiah Daradjat mengatakan bahwa dalam pembinaan moral, agama mempunyai peranan yang penting, karena nilai-nilai moral yang datang dari agama tetap dan tidak berubah-ubah oleh waktu dan tempat.
Senada dengan pendapat di atas Sabiq Barbari juga mengatakan: ilmu yang diperoleh pada masa kanak-kanak sangat terkesan, tetapi tidak berkesan apabila diperoleh pada masa dewasa. Sebagaimana dahan pohon yang hijau dapat ditegakkan dengan mudah, tetapi apabila telah kering tidak dapat ditegakkan.
Proses perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara sebagai berikut:
  1. Pendidikan Langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orang tua, guru atau orang dewasa lainnya.
  2. Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orang tua, guru, kyai, artis orang dewasa lainnya).
  3. Proses coba-coba (Trial and error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman akan dihentikan.
Robert J. Havighurst, telah membagi tahap perkembangan moral seseorang ke dalam empat tahap yang disesuaikan dengan value/tata nilai yang ada, yaitu:
1.  Usia 1-4 tahun   : Pada fase ini ukuran baik dan buruk bagi seorang anak itu tergantung dari apa yang dikatakan oleh orang tua. Walaupun anak saat itu belum tahu benar hakikat atau perbedaan antara yang baik dan buruk.
2.  Usia 4-8 tahun   :       Pada fase ini ukuran tata nilai bagi seorang anak adalah dari yang lahir (realitas). Anak belum dapat menafsirkan hal-hal yang tersirat dari sebuah perbuatan, antara perbuatan disengaja atau tidak, anak belum mengetahui yang ia nilai hanyalah kenyataannya.
3.  Usia 8-13 tahun :       Pada fase ini anak sudah mengenal ukuran baik-buruk secara batin (tak nyata) meskipun masih terbatas.
4.  Usia 13 tahun dan seterusnya: Pada fase ini seorang anak sudah mulai sadar betul tentag tata nilai kesusilaan (value). Anak akan patuh atau melanggar berdasarkan pemahamannya terhadap konsep tata nilai yang diterima. Pada saat ini anak benar-benar berada pada kondisi dapat mengendalikan dirinya sendiri.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mendidik moral anak harus dimulai sejak kecil dan tetap berpegang pada ajaran agama sebab pengalaman dan pendidikan agama yang dirasakan sejak kecil akan menentukan sikap anak setelah dewasa, dan kesemuanya itu merupakan tanggung jawab orang tua.
C. Metode dalam Mendidik Moral Anak
Pendidikan anak dalam lingkungan keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan anak, untuk mencapai kedewasaan atau dapat disebut mencapai dirinya sendiri.
Dapat dikatakan bahwa keluarga adalah “sekolah perkembangan anak”. Karena dalam keluarga tempat fasilitas anak untuk tumbuh dan berpola serta bertingkah laku. Dan menurut penulis dikatakan bahwa keluarga adalah “sekolah perkembangan anak” karena dalam lingkungan keluargalah seorang anak tumbuh dan bertingkah laku sesuai dengan keadaan lingkungan keluarga, yang berlangsung secara berkesinambungan menuju tingkat kedewasaan. Strategi yang baik dalam proses pembentukan moral adalah strategi yang dapat melahirkan metode yang baik pula. Sebab metode merupakan suatu cara dalam pelaksanaan strategi.
Selanjutnya dalam mendidik anak ada  beberapa metode yang dapat digunakan antara lain:
1. Metode Teladan
Al-Qur’an dengan tegas menandaskan pentingnya contoh teladan, Allah menyuruh kita mempelajari tindak tanduk Rasulullah Saw. dalam QS. Al-Ahzab : 21 yang berbunyi :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Terjemahnya :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah
Teladan yang baik dari orang tua dibutuhkan pada hal-hal berikut :
  1. Konsekuen dalam melaksanakan sikap terpuji dan akhlak mulia karena satu kali saja berbuat salah di depan anak, maka terhapuslah semua yang baik di matanya.
  2. Sebagian besar akhlak yang terpuji didapati anak dari contoh dan teladan orang tuanya. Sifat dermawan, berani, amanah, menghormati orang lain, dll adalah sifat yang didapat anak dari sikap orang tuanya yang ia lihat langsung.
  3. Sampai usia empat tahun, anak menjadikan orang tuanya sebagai teladan utama.
    2. Metode Nasehat
Memberikan pengertian sangat penting bagi perkembangan anak karena dengan pengertian yang akan menjadikan dirinya memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak dilakukan. Namun seringkali anak ingin mencoba untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan orang tua. Oleh karena itu, perbuatannya perlu ditunjukkan atau diberi peringatan. Jika peringatannya tidak diperhatikan dan selalu melakukan tanpa mempedulikan orang atua atau lingkungan keluarga, orang tua perlu memperlakukan tindakan dengan mencegah perbuatannya itu, agar tidak diulangi lagi, sebagaimana firman Allah dalam QS. Luqman : 13.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ ِلابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Terjemahnya :
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Sebagai orang tua, saat memberikan pengertian terhadap sesuatu yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan hendaklah benar-benar kita terapkan juga, dan jangan sampai melanggarnya, apalagi kalau anak melihatnya. Begitu juga dalam memberikan peraturan dan perintah hendaknya melihat kondisi dan sesuai dengan masa, usia perkembangannya. Karena kita tidak memaksakan sesuatu sekehendak diri kita, melainkan melihat, memperhatikan kondisi perkembangannya.
3. Metode Pembiasaan
Metode pembiasaan sangat penting untuk diterapkan karena pembentukan moral dan rohani tidaklah cukup tanpa pembiasaan sejak dini. Untuk terbiasa hidup disiplin, teratur, tolong menolong dalam kehidupan sosial memerlukan latihan yang kontinu setiap hari dan dibarengi dengan keteladanan dan panutan, karena pembiasaan tanpa dibarengi contoh tauladan akan sia-sia.
4. Metode Kisah
Dalam Islam metode kisah mempunyai fungsi edukatif tidak dapat diganti dengan bentuk penyampaian selain bahasa. Anak-anak menyukai mendengarkan cerita karena daya hayal mereka luas dan karena kisah atau cerita bisa menggambarkan suatu peristiwa seperti nyata. Menceritakan kisah-kisah para nabi akan dapat menggugah hati anak sebab kisah-kisah para nabi memuat nilai-nilai akhlak yang terpuji yang ditampilkan dengan cara menarik baik itu akhlak yang dimiliki para rasul atau kesabaran dan perjuangannya dalam menyampaikan risalah.
5. Hadiah dan hukuman
Menggemarkan berbuat baik dan peringatan dari perbuatan jahat adalah dua hal yang erat hubungannya dalam Al-Qur’an, dan ini cukup agar orang menjadi beriman. Orang yang tidak terpengaruh oleh apa yang Allah SWT. janjikan bagi perbuatan baik dan hukuman dari perbuatan jahat, maka Allah SWT. akan memberikan azab-Nya di dunia dan akhirat. Seperti halnya imbalan bagi perbuatan baik, begitu pula hukuman merupakan salah satu sarana pendidikan. Di antara hukuman tersebut misalnya pukulan merupakan sarana mendidik anak agar tidak malas shalat.
Namun yang harus diperhatikan ornag tua adalah bahwa hadiah dan hukuman itu tidak menjadikan anak lupa apa yang dilakukan dan diperbuatnya, hanya memperhatikan hadiahnya. Di sinilah dibutuhkan peran orangtua bagaimana agar dalam memberikan hadiah yang menjadikan baik bagi anak.
Begitu juga dalam memberikan hukuman pada anak, sebaiknya memberikan pengertian tentang kesalahan yang diperbuatnya.
D. Tujuan Pendidikan Moral Anak dalam Islam
Pendidikan adalah bimbingan kepada anak yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Anak adalah makhluk yang sedang tumbuh, oleh karena itu pendidikan penting bagi anak. Menurut Ahmad D. Marimba dalam buku “Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam” karangan Ahmad Tafsir mengatakan bahwa:
Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didiknya menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
John Dewey, tokoh pendidikan terkemuka mengatakan “pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia”.
Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebagai usaha sadar, disengaja, dan positif untuk menuntun hidup jasmani dan rohani anak didik dengan memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat menuju terbentuknya kepribadian yang utama, selanjutnya tentang pengertian pendidikan Islam, maka penulis akan mengemukakan pendapat beberapa tokoh pendidikan Islam antara lain:
  1. Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
  2. Syaifuddin Ansyari mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah proses bimbingan (pimpinan), tuntunan, usulan oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.
  3. Muhammad Ibrahim mengemukakan bahwa pendidikan Islam dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam sehingga dengan mudah dapat membentuk hidupnya dengan ajaran Islam.
Berdasarkan beberapa rumusan tentang pendidikan Islam di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pendidikan Islam merupakan usaha yang dilakukan oleh pendidik dalam hal ini orang tua dan guru yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Pendidikan sebagai suatu aktivitas yang terorganisasi berencana dan sadar akan tujuan, maka praktis pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan apa yang menjadi tujuannya. Dalam hal ini penulis mengemukakan bahwa tujuan adalah sesuatu yang harus dan diharapkan setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Oleh karena pendidikan merupakan usaha, atau kegiatan yang berproses melalui tahapan-tahapan dan tingkatan, maka tujuannya pun bertahap atau bertingkat-tingkat.
Adapun mengenai tujuan pendidikan Islam berikut ada beberapa nukilan tentang tujuan pendidikan Islam dan beberapa ahli yaitu:
  1. M. Athiyah al-Abrasyiy mengatakan bahwa pembentukan moral yang tinggi adalah tujuan-tujuan utama dari pendidikan Islam.
  2. Mukhtar Yahya, tujuan pendidikan Islam yaitu memberikan pedoman tentang ajaran-ajaran Islam kepada anak didik dan membentuk keluhuran budi pekerti sebagaimana misi Rasulullah sebagai pengemban amanah untuk menyempurnakan akhlak mulia sehingga memperoleh kehidupan di dunia dan akhirat.
Berangkat dari tujuan pendidikan Islam di atas dapat dikatakan tujuan pendidikan moral adalah membentuk manusia berkepribadian dan berbudi luhur serta mempunyai nilai fungsional bagi dirinya sendiri, agama, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. Maka tujuan akhir dari pendidikan Islam bertolak pada sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat dan tingkat kemanusiaan pada umumnya. (diambil dari Abied)

Peranan Keluarga dalam Menentukan Tingkat Disiplin Anak


A. Posisi Keluarga Dalam Menentukan Tingkat Disiplin Pada Anak
Esensi pendidikan umum adalah proses menghadirkan situasi dan kondisi yang memungkinkan sebanyak mungkin subyek didik memperluas dan memperdalam makna-makna esensial untuk mencapai kehidupan yang manusiawi. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kesengajaan atau kesadaran untuk mengundangnya melakukan tindak belajar yang sesuai dengan tujuan. Dengan demikian, esensi pendidikan umum, mencakup dua dimensi yaitu dimensi pedagogis dan dimensi subtantif. Dimensi pedagogis adalah proses menghadirkan situasi dan kondisi yang sebanyak mungkin anak didik terundang untuk memperluas dan memperdalam dimensi substansif.
Pendidikan umum dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.  Dengan demikian, keluarga merupakan salah satu lembaga yang mengembang tugas dan tanggung jawab  dalam pencapaian tujuan pendidikan umum.
Tujuan esensial pendidikan umum adalah mengupayakan subyek didik menjadi pribadi yang utuh dan terintegrasi. Untuk mencapai tujuan ini, tugas dan tanggung jawab keluarga (orang tua) adalah menciptakan situasi dan kondisi yang memuat iklim yang dapat dihayati anak-anak untuk memperdalam dan memperluas makna-makna esensial.
Orang tua dapat melaksanakan dengan cara menciptakan situasi dan kondisi yang dihayati oleh anak-anak agar memiliki dasar-dasar dalam mengembangkan disiplin.
Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan.
Anak yang berdisiplin memiliki keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai budaya,  aturan-aturan  pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup yang bermakna bagi dirinya sendiri, masyarakat bangsa dan negara. Artinya, tanggung jawab orang tua adalah mengupayakan agar anak disiplin  diri untuk melaksanakan hubungan dengan Tuhan yang menciptakannya, dirinya sendiri, sesama manusia, dan lingkungan alam dan makhluk hidup lainnya berdasarkan nilai moral.
Bernhard menyatakan tujuan disiplin diri adalah mengupayakan pengembangan minat anak dan mengembangkan anak menjadi manusia yang baik, yang akan menjadi sahabat, tetangga dan warga negara yang baik.
Selanjutnya indikasi bahwa dalam pola asuh dan sikap orang tua yang demokratis menjadikan adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh karena itu, anak yang merasa diterima oleh orang tua memungkingkan mereka untuk memahami, menerima, dan menginternalisasi “pesan” nilai moral yang diupayakan untuk diapresiasikan  berdasarkan kata hati.
B. Makna Keluarga Bagi Anak
Keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan antara interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah. Keluarga berdasarkan dimensi hubungan sosial ini dinamakan keluarga psikologis dan keluarga pedagogis.
Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang  yang hidup bersama dalam tempat tinggal dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan, yang dimaksud untuk saling menyempurnakan diri. Dalam usaha saling melengkapi dan saling menyempurnakan diri itu terkadang perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua.
Dalam berbagai dimensi dan pengertian keluarga tersebut, esensi keluarga (ibu dan ayah) adalah kesatuan dan ke satu tujuan adalah keutuhan dalam mengupayakan anak untuk memiliki dan mengembangkan sikap disiplin.
Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan sikap disiplin. Keluarga yang “utuh” memberikan peluang besar bagi anak untuk membangun kepercayaan terhadap kedua orang tuanya yang merupakan unsur esensial dalam membantu anak memiliki dan mengembangkan sikap disiplin. Kepercayaan dari orang tua yang dirasakan oleh anak akan mengakibatkan arahan, bimbingan, dan bantuan orang tua yang diberikan kepada anak dan “menyatu” dan memudahkan anak untuk menangkap makna dari upaya yang dilakukan.
Sesungguhnya dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw bersama dengan istrinya yang tercinta terdapat nilai-nilai pendidikan/bimbingan yang sangat mendasar untuk dijadikan pedoman dalam rumah tangga bagi segenap masyarakat muslim guna mencapai kehidupan keluarga yang ideal dan sakinah. Semakin dikaji tentang kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw, maka semakin nampak pula pelajaran yang berharga bagi kita dalam upaya membina sebuah keluarga.
Jika rumah tangga, masyarakat dan sekolah adalah sendi bimbingan insani, maka rumah tangga merupakan pemberi pengaruh utama yang lebih kuat di samping di sekolah atau dalam masyarakat. Sebagai pemimpin, orang tua harus mampu menuntun, mengarahkan, mengawasi, mempengaruhi dan menggerakkan si anak agar penuh dengan gairah untuk memberikan motivasi pada anak. Sebaiknya orang  tua harus mampu berkomunikasi sehingga muncul kepercayaan timbal balik dengan anak.
Sebenarnya orang tua tahu persis tentang anaknya. Dari pengalaman sejak bayi lahir hingga masa anak-anak kita sudah mengetahui kelebihan dan kekurangannya,  jadi diperlukan keluwesan untuk mengubah tingkah laku agar mau berprestasi. Orang tua  harus terus menerus memperhatikan perkembangan anak.
Keluarga dapat menciptakan suasana nyaman di rumah agar anak merasa betah berada di dekat pemimpinnya. Ciptakan rasa aman dalam dirinya, jangan sampai anak kita merasa lebih aman berada di lingkungan teman-temannya  ketimbang di lingkungan keluarganya.
C. Proses Pembentukan Disiplin Dalam Diri Anak
Disiplin diri anak merupakan produk disiplin. Disiplin memerlukan proses belajar. Pada awal proses belajar perlu adanya upaya orang tua. Hal ini dapat dilakukan dengan cara (1) Melatih.   (2) Membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai berdasarkan acuan moral.  Jika anak telah terlatih dan terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral maka, (3) perlu adanya kontrol orang tua untuk mengembangkannya.
Ketiga upaya ini dinamakan kontrol eksternal. Kontrol yang demokrasi dan keterbukaan ini memudahkan anak untuk menginternalisasi nilai-nilai moral. Kontrol eksternal ini dapat menciptakan dunia kebersamaan yang menjadi syarat esensial terjadinya penghayatan bersama antara orang tua dan anak. Dengan demikian disiplin diri merupakan perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan karena dikontrol oleh nilai-nilai moral yang terinternalisasi.
Dalam konteks ini, upaya orang tua untuk menumbuhkan kontrol diri anak yang didasari nilai-nilai moral agama seyokyanya seperti diartikan di dalam nilai-nilai moral lainnya (nilai sosial, ekonomi, ilmiah/belajar, demokrasi, kebersihan dan keteraturan). Dengan kata lain, semua nilai moral tersebut sedapat mungkin merupakan cerminan dari nilai-nilai agama karena memberikan arah yang  jelas kepada anak dan mencerminkan disiplin diri yang bernuansa agamis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manakala setiap orang tua dalam membantu anak untuk memiliki kontrol diri, berarti mereka benar-benar telah mampu: (1) membantu anak untuk memiliki manajemen diri, (2) melakukan intervensi pada diri anak, (3) memberikan nilai positif  kepada anak, (4) memberikan hukuman yang tepat.
Dengan demikian, setiap upaya yang dilakukan dalam membantu anak mutlak didahului oleh tampilnya:
Pertama. Perilaku yang patut dicontoh.  Artinya, setiap perilakunya tidak sekedar perilaku  yang  bersifat  mekanik, tetapi harus didasarkan  pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi anak-anak. Oleh karena itu, pengaktualisasiannya harus senantiasa  ditujukan pada ketaatan  nilai-nilai moral terutama pada saat pertemuan dengan anak-anak.
Kedua, kesadaran diri ini juga harus ditularkan pada anak-anaknya dengan mendorong mereka agar perilaku kesehariaannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu, orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku taat moral. Karena dengan komunikasi yang dialogis ini akan menjembatani kesenjangan,  keinginan dan tujuan di antara dirinya dan anak-anaknya, yang sering kali menjadi pemicu anak berperilaku agresif atau tidak berdisiplin.
Ketiga. Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahan, berkenaan dengan nilai-nilai moral. Ini berarti mereka telah mampu melakukan intervensi damai terhadap kesalahan atau penyimpangan  perilaku yang tidak taat nilai moral serta telah melakukan upaya bagaimana meningkatkannya. Dengan kata lain, orang tua telah mampu melakukan kontrol terhadap perilaku  anak-anaknya agar mereka tetap memilki dan meningkatkan nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku yang berdisiplin.
Melalui kontrol tersebut, berarti orang tua telah melakukan pengawasan dan bimbingan kepada anaknya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral. Kontrol tersebut juga mengandung kontrol orang tua terhadap pergaulan anak dengan teman sebayanya agar tidak melakukan dialog dengan nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai moral agama. Dalam mengontrol perilaku anak, orang tua dapat memberikan hukuman,  jika hal tersebut dirasakan sangat perlu untuk menyadarkan anak terhadap perilaku-perilakunya yang menyimpang sehingga dapat meluruskan kembali.
Keempat, upaya selanjutnya untuk menyuburkan ketaatan anak-anak terhadap  nilai –nilai moral dapat diaktualisasikannya dalam menata lingkungan fisik yang disebut momen fisik.  Hal ini dapat mendukung terciptanya iklim yang mengundang anak yang berdialog terhadap nilai-nilai moral yang dikemasnya  misalnya, adanya hiasan dinding, mushalla, lemari atau rak-rak buku yang berisi kitab-kitab agama yang mencerminkan nafas agama, ruangan yang bersih, teratur, dan barang-barang  yang  tertata  rapi mencerminkan nafas keteraturan dan kebersihan, pengaturan tempat belajar dan suasana sunyi yang mencerminkan  nafas  kenyamanan  dan ketenangan dalam melakukan belajar;  pemilihan tempat  tinggal dapat mengaktifkan anak  dengan nilai-nilai moral.
Kelima, penataan lingkungan fisik yang melibatkan anak-anak dan berangkat dari dunianya akan menjadikan anak semakin kokoh dalam kepemilikan terhadap nilai moral dan semakin terundang untuk meningkatkannya. Hal tersebut terjadi jika orang tua dapat mengupayakan anak-anak untuk semakin dekat  dan akrab  dengan nilai moral. Upaya dapat diaktualisasi dengan menata lingkungan sosial karena dalam penataannya dapat dikemas nilai  moral dalam pola hubungan  antar  keluarga,  cara berkomunikasi,  kekompakan dan adanya indikasi-indikasi pendidikan.  Penataan ini merupakan realisasi  orang tua dalam  mempertanggungjawabkan perannya, yaitu memberikan bantuan untuk menumbuhkan kontrol diri anaknya. Sehubungan dengan itu, dalam menata lingkungan sosial, orang tua dituntut  untuk  menciptakan adanya pola komunikasi antar anggota keluarga  yang  bermuatan nilai-nilai moral. Pola komunikasi ini dapat melakukan melalui gerak, sentuhan, belaian, senyuman, mimik, atau ungkapan kata.
Pola komunikasi tersebut dapat membuat anggota keluarga menjadi lebih akrab,  saling memiliki, dan merasa aman dalam keluarga.
Keenam, penataan lingkungan sosial dapat menghadirkan situasi kebersamaan  antara anak-anak dengan orang tua. Situasi kebersamaan merupakan syarat utama bagi terciptanya penghayatan dan pertemuan antara orang tua dan anak-anak.
Ketujuh, penataan lingkungan pendidikan akan semakin bermakna  bagi anak jika mampu menghadirkan iklim yang mendorong kejiwaannya  untuk  mempelajari  nilai-nilai  moral. Upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah menata suasana psikologis dalam keluarga. Penataan suasana psikologis dalam keluarga menyentuh dimensi emosional dan suasana kejiwaan yang menyertai dan dirasakan dalam kehidupan keluarga.
Kedelapan, penataan penataan suasana  psikologis semakin kokoh jika nilai-nilai moral secara transparan dijabarkan dan diterjemahkan menjadi tatanan sosial dan budaya dalam kehidupan keluarga.
Berdasarkan  upaya  di atas  sangat  diperlukan sebagai panduan dalam  membuat  perubahan dan pertumbuhan anak, memelihara harga diri,  dan dalam menjaga hubungan erat antara orang tua dengan anak.  Dari  ketiga panduan ini lahir strategi yang mengharuskan orang tua memiliki kemampuan mengatur (manajemen) anak,  mengendalikan anak, serta merangsang anak-anak untuk berperilaku sesuai dengan acuan moral yang secara esensial bermakna dengan tindakan pendidikan.  Selanjutnya  Combs menyatakan bahwa bantuan yang diberikan  orang tua kepada  anak-anak bagi kepemilikan disiplin diri, sehingga mampu membantu mereka agar dapat: mempersepsi kebermaknaan nilai moral bagi dirinya, memiliki pandangan yang positif  terhadap  dirinya,  membaca  kesuksesan yang telah diraih dan memberikan motivasi-motivasi untuk meningkatkannya, dan membina rasa kebersamaan antara dirinya dengan anak-anak.
D. Pola Pembinaan Keluarga
Pembinaan anak adalah tugas yang sangat mulia. Orang tua memegang peranan penting dalam membina anak di lingkungan rumah tangga, sebab orang tua yang hampir setiap hari berada di rumah.  Lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama  dan utama,  orang tua haruslah menjadi tokoh utama di dalam pekerjaan membina anaknya. Dalam pergaulan bersama dengan anak-anaknya, teristimewa ketika mereka masih kecil, maka orang tua haruslah senantiasa menjadi pembimbing dan teman mereka yang baik pula.
Orang tua mempunyai hak untuk dihormati oleh anak-anaknya, yang demikian itu dapat dipahami dari Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ ayat 23 – 24
Tuhanmu telah menetapkan,  janganlah kamu menyembah selain Dia dan berbuat baiklah kepada ibu bapakmu.  Jika salah seorang diantara mereka atau keduanya berusia lanjut, maka janganlah kamu berkata  “cis/ah”  kepada mereka dan janganlah pula kamu membantahnya. Tetapi katakanlah kepada mereka ucapan-ucapan mulia.  Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan sikap merendah karena kasih sayang dan berdoalah “wahai Tuhanku, kasih sayangilah mereka seperti mereka telah mengasihi sayangiku semasa kecil.
Orang tua yang harus dihormati bukanlah orang tua yang tidak pernah menanamkan pendidikan keagamaan, tidak pernah memberikan contoh tauladan yang baik, tidak pernah menganjurkan anak-anaknya untuk belajar agama dalam kehidupan sehari-hari dan tidak  pernah mencerminkan syiar-syiar  Islam. Pokoknya dengan kata lain selaku orang tua tidak menanamkan pendidikan keagamaan kepada anak-anaknya yang mengarah untuk mengenal sekaligus berbakti kepada Allah SWT,  dan berbakti kepada orang tuanya. Ibarat memelihara binatang, cukup tiap harinya diberi makan dan minum, sandang sudah cukup mewah,  sementara  rohaninya kosong dari nilai-nilai keagamaan. Kalau memang demikian keadaannya, janganlah mengharapkan si orang tua itu harus dihormati. Bagaimana anak harus berbakti, dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya harus berbakti, bagaimana anak mengajarkan shalat, kalau orang tuanya sendiri tidak pernah memberikan contoh mengajarkan shalat kepada anaknya, demikian seterusnya.
Anak adalah titipan  Ilahi yang harus dipelihara dan ditunaikan hak-haknya, sebab kelak pada hari perhitungan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban dari amanah yang dititipkan itu. Jadi selaku orang tua, kalau ia mengharapkan harus ditaati olehnya anaknya, maka terlebih dahulu para orang tua harus menanamkan modal dasar pendidikan hak-hak dari anak-anaknya (dalam hal ini minta dihormati), maka laksanakanlah dahulu kewajiban itu sebagai orang tua.
Ibu adalah orang pertama yang dikejar oleh anak. Perhatian, pengharapan dan kasih sayangnya, Sebab ia merupakan orang pertama yang dikenal oleh anak. Ia menyusukannya dan ia mengganti pakaiannya,  artinya ialah yang memenuhi kebutuhannya akan makanan dan kebutuhan untuk menghindari rasa sakit akibat basah. Lambat laun wajah ibu menjadi bergandengan dengan pemenuhan kebutuhan primer penting tersebut, yang harus dipenuhi oleh anak sehingga sesudah  itu  anak  menginginkan  supaya  ibunya senantiasa ada untuk dirinya.
Ibu sebagai pembimbing dan pengatur rumah tangga, baik buruknya bimbingan itu terhadap anaknya akan berpengaruh terhadap perkembangan watak dan karakter anaknya di kemudian hari.
Cara yang paling baik untuk membina anak supaya dapat berkembang watak dan karakternya adalah dengan memberi teladan kepada mereka.  Pengendalian diri juga sangat perlu diajarkan seorang ibu kepada  anak  di dalam rumah tangga, karena seorang anak yang dapat mengendalikan  diri, berarti pintu kebahagiaan akan terbuka baginya.
Itulah sebabnya seorang ibu harus membina anaknya untuk mengendalikan tingkah lakunya melalui bimbingan yang dimulai dari keluarganya.  Sebab  anak  yang  tidak dibina pola tingkah lakunya dan tidak mampu mengendalikan diri, maka kelak akan mengalami kesulitan hubungan sosialnya dalam pergaulan di masyarakat.
Bagi setiap ibu,  mendidik anak-anaknya itu bukan saja setelah lahir sampai beranjak dewasa, namun harus di mulai sejak dalam kandungan dengan jalan memelihara dirinya dari setiap pengaruh kejiwaan yang negatif,  sebab  hal  itu akan banyak memberi pengaruh pula terhadap faktor si anak yang berada di dalam kandungannya.
Suatu anggapan bahwa pekerjaan ibu di rumah tangga nilainya kecil adalah keliru. Sesungguhnya, tugas mendidik anak bukanlah soal kecil. Biarlah setiap ibu insyaf akan kesucian tanggung jawabnya. Tiada pekerjaan lain yang bisa disamakan dengan pekerjaan pembentukan tabiat.
Setiap banyaknya orang di dunia ini yang tidak menyadari cinta dan pengorbanan ibunya, demikian pula bahwa bukan sedikit kaum ibu yang  tidak  melakukan kewajiban sebagaimana mestinya terhadap keturunan mereka.  Bukan sedikitnya  anak-anak  muda yang akhirnya menjadi rusak karena tidak merasakan cinta ibu dalam rumah tangganya.  Perasaan  kurang  perhatian  dari  orang  tua menyebabkan anaknya gelisah dan kurang puas.
Di dalam kehidupan sehari-hari, dapat dilihat adanya hubungan yang  terus-menerus  antara  ibu  dengan  anaknya.  Dengan sendirinya hal ini menimbulkan hubungan timbal balik, yang secara berangsur-angsur akan menumbuhkan perasaan  kasih  sayang antara kedua belah pihak.  Sifat hubungan itu dan anak akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak di kemudian hari.
Dalam membicarakan tentang pemimpin rumah tangga tentunya  tidak  terlepas  dari  masalah perkawinan. Sebab perkawinan merupakan fitrah manusia yang dianungerahi oleh Allah SWT kepada hamba-Nya sebagai amal terjadinya ikatan batin, cinta dan kasih sayang (mawaddah warahmah).  Cinta dan kasih sayang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Dalam membina rumah tangganya yang mendapat bimbingan langsung dari Allah SWT sebagai mana dalam firmannya dalam Q.S. Ar-Ruum (30) : 21 yang artinya: Dan diantaranya tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.
Berdasarkan  firman Allah SWT di atas, maka dapat memahami bahwa yang menjadi  landasan  dasar pembinaan rumah tangga adalah cinta dan kasih sayang yang telah diajarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya tersebut.
Jikalau seorang ibu sudah mendidik anak-anaknya tentang bagaimana menghormati, menuruti, mengendalikan diri, dan mempunyai tabiat yang jujur, berarti seorang ibu sudah mempersiapkan  anak-anaknya  yang tangguh dan berkepribadian yang tulus ikhlas, berpendidikan yang luhur dan siap bergaul di dalam masyarakat.
Dalam masyarakat kita, sering ada anggapan bahwa tugas ibu adalah memelihara dan tugas ayah bekerja mencari uang. Seorang ayah tidak pantas membuat atau menyediakan susu botol, menggendong,  memandikan  dan mengganti pakaian, dengan kata lain terdapat pembagian tugas dan kewajiban yang ketat antara ayah dan ibu. Untuk  perkembangan  anak  atau  demi  keharmonisan rumah tangga, anggapan bahwa  semacam itu sebetulnya merugikan. Seorang ayah sampai batas-batas tertentu harus melibatkan diri dalam kehidupan keluarga sehari-hari. Merawat bayi dan anak bukanlah monopoli kaum ibu.  Dengan sekali-kali ikut menyediakan susu bayi,  memandikan dan sebagainya. Di samping akan menambah rasa hormat istri pada suami, juga akan terbina ikatan emosional antara ayah dan anak.
Untuk menjalankan kepemimpinan dan pengawasan dalam rumah tangga  diperlukan  kesabaran, ketabahan, keadilan dan wibawa yang tinggi.
Hasil penelitian yang ada hingga sekarang telah membuktikan bahwa faktor ayah merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan pribadi anak.  Menurut teori psikoanalisis bahwa: “Ayah merupakan tokoh identifikasi (di samping ibu) bagi anak, sementara anak menjadikan pribadi ayah sebagai tolak ukur atau bandingan bagi perilakunya sendiri.”
Selain itu, ayah juga merupakan tokoh pelindung, yang di mata anak merupakan orang yang akan menyelamatkan dirinya, jika sewaktu-waktu ada bahaya mengancam. Jelaslah, bahwa jika ayah melakukan peranannya dengan baik, anak akan tumbuh menjadi orang yang  berkepribadian  mantap.  Sebaliknya jika ayah kurang berperan dalam kehidupan anak, maka si anak akan kehilangan pegangan dan selalu merasa ragu-ragu di samping kurang adanya rasa percaya diri.
Dalam pembinaan anak, diperlukan adanya tanggung jawab orang tua harus ditempuh meliputi :
-         Memperlakukan anak-anak secara lembut dan penuh kasih sayang
-         Menanamkan rasa cinta kasih
-         Menanamkan akidah dan tauhid
-         Mendidik akhlak
-         Menyuruh berpakaian taqwa
-         Mendidik bertetangga dan bermasyarakat
-         Mencegah atau melarang pergaulan bebas
-         Mengajarkan Al-Qur’an
-         Mengajarkan halal dan haram
-         Menjauhkan hal-hal yang porno
Sebagai orang tua yang bertanggung  jawab atas masa depan dan perkembangan anak-anaknya, sudah sewajarnya mengetahui hal-hal yang dapat dikerjakan oleh anak,  agar anak selamat dunia dan akhirat.
Anak memerlukan perhatian yang terus menerus, dan ini hanya dapat diberikan oleh ibu, karena ibulah yang sejak awal kelahiran sang anak, telah mengenal karakteristik psikologi dan kecenderungan anak tersebut.
Seorang ibu yang mengerti dunia anak, tentulah tidak heran bila anaknya selalu melontarkan berbagai macam pertanyaan dan ini adalah merupakan pertanda bahwa anak memiliki rasa ingin tahu yang lebih banyak. Adalah tindakan yang salah bila mencela kebiasaan anak untuk bertanya, sebab tindakan tersebut dapat memadamkan rasa ingin anak sekaligus mematikan kreativitasnya. Justru seorang ibu haruslah bangga dan bersyukur karena mempunyai anak yang memiliki rasa ingin tahu yang besar yang terpupuk sejak kecil, sehingga kelak mereka dapat aktif belajar tanpa diperintah.
Memupuk rasa ingin tahu anak,  memang bukan hal yang mudah,  sebab dibutuhkan kesabaran yang tinggi. Dalam menjawab pertanyaan  anak  ibu  harus menunjukkan perhatian dan jawaban yang sungguh-sungguh, walaupun jawaban yang diberikan tidak panjang  apalagi berbelit-belit dan sulit dimengerti oleh anak, akan tetapi cukup dengan jawaban pendek yang disesuaikan dengan pemahaman anak.
Sekilas anak-anak itu seperti bodoh dan tak tahu apa-apa tentang alam beserta kehidupannya tetapi mereka sebenarnya memiliki daya tangkap dan daya ingat yang jauh lebih hebat dari perkiraan kita.   Dari sekian  banyak  tanya yang mereka ajukan dalam sehari, pasti ada yang masuk dan direkam baik-baik dalam otaknya.
Seorang anak yang memiliki umur di bawah lima tahun (balita) sebenarnya memilki daya tangkap dan daya ingat serta kemampuan menghafal yang hebat. Ini wajar karena otak mereka belum pernah digunakan untuk memikirkan hal-hal yang lain. Olehnya itu pendidikan pada anak sebenarnya bukan hanya dimulai pada umur tujuh tahun ke atas tapi justru ketika anak tersebut masih balita. Sehingga dalam pendidikan Islam, untuk mengembangkan dan membimbing dasar kemampuan anak dibagi dalam 4 periode, yaitu :
  1. Periode Pertama  (sejak lahir-6 tahun).  Pada periode ini anak harus dibiasakan pekerjaan yang baik serta harus dijaga dari kebiasaan yang buruk dan dapat merusak akhlaknya.
  2. Periode Kedua (6-10 tahun). Pada periode ini anak dididik dalam hal kesosialan di mana anak tersebut mulai belajar memahami aspek-aspek penting dari sosialisasi tersebut, seperti :
-         Belajar mematuhi aturan-aturan kelompok
-         Belajar setia kawan
-         Belajar tidak bergantung pada orang lain
-         Belajar bekerja sama
-         Belajar menerima tanggung jawab
-         Belajar bersaing dengan orang lain secara sehat
-         Mempelajari olah raga dan permainan kelompok
-         Belajar arti keadilan, demokrasi, kejujuran dan keikhlasan
-         Mempelajari perilaku yang dapat diterima oleh lingkungannya.
Mengingat pentingnya nilai-nilai yang bakal diterima dari proses ini, maka pengembangan pendidikan secara normal dan kondusif sangatlah diperlukan.
  1. Periode Ketiga (10-13 tahun). Pada periode ini adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke masa remaja di mana anak mulai mandiri dalam berperilaku.
Salah satu arti yang terpenting pada masa ini adalah ukuran dan berat badan si anak makin bertambah dan tersebut mempunyai vitalitas dan gairah yang tinggi pula selain itu, wawasan pengetahuan dan pemahaman anak semakin luas.
Dengan melihat potensi yang amat besar ini maka pendidikan harus diarahkan pada kegiatan-kegiatan praktis dan berkaitan dengan nilai-nilai Islam.
  1. Periode Keempat (13 tahun ke atas). Pada periode ini anak mulai matang dalam berfikir karena itu ahli psikologi perkembangan menetapkan bahwa ciri terpenting  pada masa ini adalah terjadinya perkembangan fisik yang cukup pesat dan muncul kelenjar-kelenjar baru yang menghasilkan hormon pertumbuhan pada diri anak yang sedang menginjak remaja. (diambil dari Abied)